Monday, March 29, 2010

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (3)

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (3)
Penulis Syaikh Albani ⋅ November 29, 2009 ⋅

APA PENDAPAT ANDA TENTANG NASHIR AL-UMAR DAN BANTAHANNYA TERHADAP AS-SAQQAF KEMUDIAN DIA MEMBICARAKAN AS-SAQQAF

Penanya kedua: Saya mengetahui bahwa Syaikh Nashir al-Umar mengunjungi anda baru-baru ini.

Syaikh: Iya.

Penanya kedua: Bagaimana kunjungannya, dan apa kesan Anda terhadap Syaikh Umar?

Syaikh: Terhadap siapa?

Penanya kedua: Terhadap Syaikh Nashir al-Umar.

Syaikh: MasyaaAllah, sebaik-baik lelaki, penuntut ilmu yang kuat, dan yang nampak bagi kami – dan kami tidak mentazkiyah seorang pun atas nama Allah – dia orang yang berlepas dari hawa nafsu.

Penanya kedua: Alhamdulillah.

Syaikh: Alhamdulillah, dan padanya ada banyak kebaikan. Dan kita memohon kepada Allah semoga seluruh penuntut ilmu memiliki akhlak islam yang tinggi seperti ini.

Penanya kedua: Apa pendapat Anda tentang kaset Nashir al-Umar yang di dalamnya dia membantah seseorang yang disebut as-Saqqaf?

Syaikh: Dia telah melakukan kewajiban yang baik. Dan kami sekarang berusaha untuk menyebarkan kaset ini di negri ini. Karena as-Saqqaf ini adalah seorang yang melakukan kesalahan besar. Dan dalam keyakinanku ada banyak orang berada di belakangnya. Di lapangan dia tidak sendirian. Dia adalah seorang jahmi (pengikut pemahaman jahmiyah) yang getol. Dia suka mempermainkan as-Sunnah, menshahihkan sunnah sekehendaknya padahal dhoif. Dan mendhoifkan sunnah sekehendaknya padahal shahih menurut para ulama. Cukup bagimu bukti kami atas hal tersebut hadits al-Jariyah (budak wanita), “Di manakah Allah?” Dia (as-Saqqaf) berkata, aku memastikan bahwa Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tidak mengucapkan hadits ini. Padahal dia tahu bahkan menyandarkannya kepada Shahih Muslim. Namun tetap saja dia memastikan bahwa hadits ini dusta atas nama Rasulullah – shollalohu ‘alaihi wa sallam –. Padahal hadits ini dishahihkan oleh banyak para ulama yang dijadikan sandaran olehnya dalam mentakwil sifat atau dalam mentakwil sebagian sifat. Para ulama itu seperti al-Imam al-Baihaqi. Al-Imam al-Baihaqi – segala puji hanya milik Allah – termasuk salah satu pembesar ulama hadits, meskipun pada diri beliau ada keyakinan asy’ariyah, tapi beliau termasuk ulama yang menshahihkan hadits tersebut. Maka (as-Saqqaf) ini sama sekali tidak memperhatikan hal ini. Terlebih lagi al-Hafizh Ibnu Hajar, beliau juga menshahihkan hadits ini, tapi (as-Saqqaf) tidak memperhatikan!! Dia (as-Saqqaf) berkata bahwa hadits ini dipastikan bahwa Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tidak mengucapkannya. Dia mendatangkan beberapa hadits yang sebagiannya shahih namun tidak ada kalimat, “Di manakah Allah?” lalu dia mempertentangkan antara kalimat ini dengan riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan kalimat ini. Padahal hal itu tidak saling kontradiksi. Dan kebanyakan riwayat yang dijadikan sandaran olehnya tidak lepas dari cacat dari segi ilmu hadits. Tapi tetap saja dia tidak mau memperhatikan. Dalam bantahannya terhadap ahlussunnah, dia bertolak dari kaidahnya orang-orang yahudi zionis yang menyatakan, “Tujuan membenarkan segala cara.” Demikianlah.

Aku tidak tahu, apakah telah sampai kepada kalian kitab “Daf’u Syubahit Tasybih” karya Ibnul Jauzi dengan ta’liq (komentar) dari laki-laki pendusta ini ataukah tidak? Sudahkah sampai kepada kalian?

Penanya kedua: Saya belum pernah melihatnya.

Syaikh: Ini adalah musibah yang sangat besar. Ambil (kitab) ini, dia ada di bawah… Pada kitab ini, dia membuat pendahuluan panjang yang semuanya adalah bantahan kepada Ahlussunnah. Dia menamai orang-orang yang menetapkan sifat (Allah) – terutama adalah aku – sebagai Mujassim, hanya karena kita menetapkan sifat-sifat Allah. Dan aku kira engkau telah mengetahui kitabku “Mukhtashor al-‘Uluw karya adz-Dzahabi.” Engkau telah mengetahuinya?

Penanya kedua: Iya.

Syaikh: Dan pendahuluan (yakni kitab Mukhtashor al-‘Uluw – pent) yang mencapai sekitar lima puluh halaman, tujuh puluh halaman, semuanya adalah pendahuluan yang memadukan antara penetapan sifat dan penyucian sifat. Meskipun demikian setiap kali menyebut tentangku disebut di dalam kurung “Mujassim, mujassim, mujassim.” Dan dia ketika menafsirkan firman Allah,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.” (al-Mulk: 16)

Dia berkata, “Sesungguhnya keyakinan Allah berada di langit adalah keyakinan jahiliyah, orang-orang musyrik pada zaman jahiliyah.” Dari sinilah dia bertolak dan mempertentangkan hadits Jariyah dengan menyatakan hadits ini palsu, karena hadits ini mengandung keyakinan orang-orang musyrik (yakni menurut anggapannya). Al-Jariyah ini mengatakan Allah berada di langit sedangkan dia mengatakan ini adalah perkataan orang-orang musyrik.

Penanya kedua: Beberapa waktu lalu as-Saqqaf mengunjungi Syaikh Nasib ar-Rifa’i. Dan setelah kami selesai sholat Jum’at di masjid kami, saya dan Syaikh Ahmad Salik singgah di tempat Syaikh Nasib. Karena ketika itu beliau sedang sakit. Tiba-tiba as-Saqqaf datang, yakni kami mendahuluinya.

Syaikh: Datang kemana?

Penanya kedua: Ke Syaikh Nasib.

Syaikh: Di rumahnya?

Penanya kedua: Iya benar.

Syaikh: Di Bil’adah?

Penanya kedua: Tidak, pada kedua kalinya dia datang. Lalu Syaikh Nasib berkata kepadanya, “Engkau mentakwil sifat dan menolaknya. Apa dalilmu atas takwil ini?” Dia berkata, “Dalilku bahwa al-Bukhari juga mentakwil.”

Syaikh: Laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Penanya kedua: Lalu Syaikh Ahmad Salik berkata kepadanya, “Wahai Hasan, apakah engkau menetapkan Allah memiliki Dzat?” Dia berkata, “Iya.” Syaikh berkata, “Lalu bagaimana dengan sifat menurutmu? Sebagaimana Dia memiliki Dzat yang tidak seperti dzat-dzat (makhluk), begitu pula tangan-Nya tidak seperti tangan-tangan (makhluk).” Dia berkata, “Aku tidak datang untuk berdebat.”

Syaikh: Inilah kebiasaannya.

Penanya kedua: Kemudian dia berkata kepada Syaikh Nasib bahwa “Syaikh Nashir berkata tentang Anda, musyrik.” Lalu Syaikh Nasib berkata kepadanya, “Meski demikian, aku bersamanya dalam melawanmu.” Lalu dia duduk sebentar kemudian pergi dan tidak kembali setelahnya.

Syaikh: Dia dusta, tidak ragu lagi, A’udzu billah.

Penanya kedua: Iya, Wahai Syaikh kami, saya mengikuti seluruh risalah as-Saqqaf kecuali yang ini, bukan untuk mendiskusikan perkataan-perkataannya, saya hanya kembali kepada referensi yang dijadikan sumber nukilannya dan perkataan-perkataannya. Seluruh risalah yang dicetak, dan saya mendapati sesuatu yang sangat mengherankan.

Syaikh: Ahsanta.

Penanya kedua: Dan ini telah dikumpulkan dalam satu majmu’ah. Saya telah memberikannya kepada Syaikh Ali agar beliau melihatnya.

Syaikh: Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu.

Penanya kedua: Iya. Dan saya mendapati bahwa masalah bahasa juga… “Sampaikan tidak mengapa” (perkataan Syaikh al-Albani –pent). Saya heran, pada sebagian risalahnya dia menukil kesepakatan ahlul hadits bahwa tidak boleh menshahihkan dan mendha’ifkan hadits kecuali dari sisi orang yang telah mencapai derajat al-Hafizh. Dan dia berkata, di antara mereka adalah, al-Hafizh Ibnu Hajar dan as-Suyuthi.

Syaikh: Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Penanya kedua: Dan pernyataan ini belum ada seorang pun yang menyatakannya sebelumnya.

Syaikh: Dia adalah dajjal (pendusta). Semoga Allah membalasnya. Semoga Allah membalasnya.

Penanya kedua: Pada sebagian risalahnya dia mengklaim dan menyatakan bahwa Siyar A’lamin Nubala telah dicetak kecuali jilid terakhir saja yang di dalamnya ada biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, – dia mengatakan – wallahu a’alam, untuk apa mereka menyembunyikan kitab ini, yakni untuk apa.

Padahal biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dinukil oleh Ibnul Wazir dalam al-‘Awashim dan saya memiliki foto dari manuskripnya. Yang mentahqiq adalah Syu’aib al-Arnauth.

Syaikh: Iya, afwan, (Ibnul Wazir) menukilnya dari kitab Siyar?

Penanya kedua: Ibnul Wazir, iya (menukil dari kitab Siyar –pent). Dia berkata, “Dalam juz ini aku telah memperbanyak nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Maka inilah biografi beliau dari Siyar A’lamin Nubala.” Dan beliau menyampaikannya. Yakni, aku memiliki foto manuskripnya, subhanalloh, di sana ada pujian yang panjang.

Syaikh: Dan insya Alloh engkau berniat untuk menyebarkan hakikat orang ini (as-Saqqaf)?

Penanya kedua: Kami belum menasihatinya, yakni karena orang ini tidak terkenal, yakni tidak membantahnya itu lebih utama, tidak mengikuti mereka lebih utama. Akan tetapi insyaAlloh hati ini cenderung untuk melakukan hal itu.

Salah seorang hadirin: Engkau harus menjelaskan kebatilannya, ini wajib diberitahukan.

Penanya ketiga: Bedanya kitab-kitab as-Saqqaf dari yang lainnya di antara kitab-kitab yang menyerang Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, bahwa sampai orang awam pun bisa terpengaruh dengan kitab ini, yakni yang membaca kitab-kitab, baik dari kalangan cedekiawan, insinyur, sampai pun ahli kimia. Berbeda dengan bantahan-bantahan lainnya, seperti bantahan Mamduh Sa’id atau yang lain, tidak ada yang mampu mengetahuinya atau bereaksi bersamanya sampai pun kebanyakan dari para penuntut ilmu. Dari sini, nampak bahayanya kitab ini. Dan nampak juga pentingnya membantah kitab ini dengan bantahan yang ringkas, dengan risalah kecil yang bisa disebarluaskan. Risalah kecil saja untuk memberikan beberapa contoh penyimpangannya, dan kepalsuannya. Ditambahkan juga kejanggalan-kejanggalan yang ada padanya, berupa pengkafiran kepada Syaikhul Islam dan yang lain.

Syaikh: Iya, aku yakin amal yang engkau isyaratkan ini sangat penting.

Penanya kedua: Wahai Syaikh, saya belum berdiskusi dengannya, yakni, dia (mungkin) jahil.

Syaikh: Ini dia, wahai saudaraku, berdiskusi dengannya percuma, jangan berdiskusi dengannya, jangan. Semoga Allah membalasnya. Yang mengherankan, dia menukil dari “Tafsir al-Bahrul Muhith” karya Abu Hayyan tentang tafsir ayat yang telah lalu,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.” (al-Mulk: 16)

Sebuah tafsir yang sangat aneh!! Dia berkata, “Sesungguhnya Rabb kita berkata kepada orang-orang musyrik, apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang kamu sangka berada di langit!!!” A’udzubillah, Allahu Akbar, suatu hal yang sangat buruk, sangat buruk. Pembalikan kenyataan yang tidak ada bandingannya dalam membalik kenyataan. Engkau akan mendapati di sini, dalam kitabnya Ibnul Jauzi – engkau tahu bahwa Ibnul Jauzi sangat disayangkan menyimpang dari madzhab salaf dalam masalah sifat – dia menukil dari sebagian hanabilah yang sebenarnya pada mereka ada sedikit sikap ghuluw dalam menetapkan sifat. Maka as-Saqqaf ini ketika Ibnul Jauzi menyebutkan seorang dari hanabilah ini, dia meletakkan di antara tanda dua kurung, “Mujassim Fulan,” “Mujassim Fulan.” Bagaimana dia membolehkan bagi dirinya untuk memberikan sisipan dalam kitab orang lain. Seandainya saja dia menyebutkan di pendahuluan bahwa dialah yang membuat istilah ini, tapi dia meninggalkannya agar orang-orang tersesat.

Penanya kedua: Wahai Syaikh kami, saya melihat dia memiliki kitab, “asy-Syihabul Hariq fir Rodd ‘alal Albani al-Mariq.” Pada awal kitab itu dia menyebutkan pendahuluan yang dia sebut Muqaddimah Za’faraniyah – masya Allah – ilmunya telah sampai padanya untuk menulis suatu muqaddimah. Lalu dia memunculkan sebagian pertanyaan kepada Anda, dengan bahasa yang kuat. Dalam fikiranku, bahwa semacam ini tentu kita akan mengatakan di akhirnya dia akan menyusun kalimat dengan baik karena dia telah memulai, tapi setelah selesai dia mengatakan, “wa nahnu ‘ala tsiqotan” yakni dengan tanwin di atasnya.

Syaikh: Mengherankan.

Penanya kedua: Lalu terlintas dalam benakku agar saya kembali merujuk ke kitab-kitab Maqamat. Maka aku pun kembali merujuk kepada kitab Maqamat al-Hariri. Ternyata sama dengan Maqamat yang ditulis oleh al-Hariri. Dia menyebutkan bahwa dia pergi menuju Haram dan di sana ada seorang Syaikh yang menampakkan diri untuk berfatwa, dan datanglah kepadanya seseorang yang selalu di gelari dengan Abu Yazid as-Sabuki. Berdirilah kepadanya seorang pemuda yang fasih lisannya lalu bertanya kepadanya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan fikih yang ada kesamaran. Maka as-Saqqaf menyebutkannya, dan dia merendahkan Anda sedangkan dia adalah pemuda yang bertanya yang fasih lisannya. Dia telah merubah al-Maqamah sehingga orang-orang berfikiran dia memiliki Maqamat.

Syaikh: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahul Musta’an

Penanya kedua: Setelah itu wahai Syaikh kami, dia berkata – ketika aku duduk bersamanya di sisi Syaikh Nasib – saya katakan padanya, engkau berkata dalam satu kitab, Syaddad bin Rifa’ah al-Qitbani. Dia berkata, yang benar adalah al-Fitbani dan ini adalah bukti kebodohan al-Albani karena dia berkata al-Qitbani.

Saya katakan kepadanya, pertama, Syaikh Nashir menukil dari Sunan Ibnu Majah. Dan dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan al-Qitbani. Yang kedua, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib (menyebutkan): Syaddad bin Rifa’ah atau Rifa’ah bin Syaddad al-Qitbani, dengan mengkasrohkan huruf Qoof. Di sini, apakah Syaikh Nashir dituntut untuk mengikuti semua kitab untuk mengatakan al-Qitbani bukan al-Fitbani? Apalagi di sana ada dua nisbat menurut ahlul hadits, ada yang benar-benar al-Qitbani dan ada juga yang al-Fitbani. Maka dia tidaklah dituntut dengan perkataan Ibnu Hajar. Dia berkata, Aku tahu Ibnu Hajar berkata demikian. Saya katakan kepadanya, baiklah kenapa engkau menyamarkannya kepada manusia. Dia berkata, untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa al-Albani tidaklah makshum. Saya katakan kepadanya, untuk apa, siapa yang mengklaim kemakshumannya!!!

Syaikh: Masya Allah, masya Allah. Orang ini mencari-cari kesalahan orang lain.

Penanya kedua: Tatkala datang Syaikh Ahmad Salik, dia berkata kepadanya, “Ini tulisan-tulisanku, lihatlah kepadanya.” Maka Syaikh Ahmad Salik mengambil kitab dan memperhatikannya. Dia berkata, “Tulisan-tulisan ini ingin kamu sebarkan kepada manusia?” Dia berkata, “Iya.” Syaikh Ahmad berkata, “Ini kesalahan penulisan, ini kesalahan dalam nahwu, ini salah?” Maka merahlah wajahnya dan dia pun malu.

Salah seorang hadirin: Dia malu, semoga Allah menunjukinya.

Syaikh: Laa haula wa laa quwwata illa billah

SELESAI

Sumber : Silsilah Huda wan Nuur No.Kaset 595 , transkrip didapat dari http://www.kulalsalafiyeen.com

No comments: