Monday, March 29, 2010

http://www.direktori-islam.com/

http://www.direktori-islam.com/

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (3)

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (3)
Penulis Syaikh Albani ⋅ November 29, 2009 ⋅

APA PENDAPAT ANDA TENTANG NASHIR AL-UMAR DAN BANTAHANNYA TERHADAP AS-SAQQAF KEMUDIAN DIA MEMBICARAKAN AS-SAQQAF

Penanya kedua: Saya mengetahui bahwa Syaikh Nashir al-Umar mengunjungi anda baru-baru ini.

Syaikh: Iya.

Penanya kedua: Bagaimana kunjungannya, dan apa kesan Anda terhadap Syaikh Umar?

Syaikh: Terhadap siapa?

Penanya kedua: Terhadap Syaikh Nashir al-Umar.

Syaikh: MasyaaAllah, sebaik-baik lelaki, penuntut ilmu yang kuat, dan yang nampak bagi kami – dan kami tidak mentazkiyah seorang pun atas nama Allah – dia orang yang berlepas dari hawa nafsu.

Penanya kedua: Alhamdulillah.

Syaikh: Alhamdulillah, dan padanya ada banyak kebaikan. Dan kita memohon kepada Allah semoga seluruh penuntut ilmu memiliki akhlak islam yang tinggi seperti ini.

Penanya kedua: Apa pendapat Anda tentang kaset Nashir al-Umar yang di dalamnya dia membantah seseorang yang disebut as-Saqqaf?

Syaikh: Dia telah melakukan kewajiban yang baik. Dan kami sekarang berusaha untuk menyebarkan kaset ini di negri ini. Karena as-Saqqaf ini adalah seorang yang melakukan kesalahan besar. Dan dalam keyakinanku ada banyak orang berada di belakangnya. Di lapangan dia tidak sendirian. Dia adalah seorang jahmi (pengikut pemahaman jahmiyah) yang getol. Dia suka mempermainkan as-Sunnah, menshahihkan sunnah sekehendaknya padahal dhoif. Dan mendhoifkan sunnah sekehendaknya padahal shahih menurut para ulama. Cukup bagimu bukti kami atas hal tersebut hadits al-Jariyah (budak wanita), “Di manakah Allah?” Dia (as-Saqqaf) berkata, aku memastikan bahwa Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tidak mengucapkan hadits ini. Padahal dia tahu bahkan menyandarkannya kepada Shahih Muslim. Namun tetap saja dia memastikan bahwa hadits ini dusta atas nama Rasulullah – shollalohu ‘alaihi wa sallam –. Padahal hadits ini dishahihkan oleh banyak para ulama yang dijadikan sandaran olehnya dalam mentakwil sifat atau dalam mentakwil sebagian sifat. Para ulama itu seperti al-Imam al-Baihaqi. Al-Imam al-Baihaqi – segala puji hanya milik Allah – termasuk salah satu pembesar ulama hadits, meskipun pada diri beliau ada keyakinan asy’ariyah, tapi beliau termasuk ulama yang menshahihkan hadits tersebut. Maka (as-Saqqaf) ini sama sekali tidak memperhatikan hal ini. Terlebih lagi al-Hafizh Ibnu Hajar, beliau juga menshahihkan hadits ini, tapi (as-Saqqaf) tidak memperhatikan!! Dia (as-Saqqaf) berkata bahwa hadits ini dipastikan bahwa Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tidak mengucapkannya. Dia mendatangkan beberapa hadits yang sebagiannya shahih namun tidak ada kalimat, “Di manakah Allah?” lalu dia mempertentangkan antara kalimat ini dengan riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan kalimat ini. Padahal hal itu tidak saling kontradiksi. Dan kebanyakan riwayat yang dijadikan sandaran olehnya tidak lepas dari cacat dari segi ilmu hadits. Tapi tetap saja dia tidak mau memperhatikan. Dalam bantahannya terhadap ahlussunnah, dia bertolak dari kaidahnya orang-orang yahudi zionis yang menyatakan, “Tujuan membenarkan segala cara.” Demikianlah.

Aku tidak tahu, apakah telah sampai kepada kalian kitab “Daf’u Syubahit Tasybih” karya Ibnul Jauzi dengan ta’liq (komentar) dari laki-laki pendusta ini ataukah tidak? Sudahkah sampai kepada kalian?

Penanya kedua: Saya belum pernah melihatnya.

Syaikh: Ini adalah musibah yang sangat besar. Ambil (kitab) ini, dia ada di bawah… Pada kitab ini, dia membuat pendahuluan panjang yang semuanya adalah bantahan kepada Ahlussunnah. Dia menamai orang-orang yang menetapkan sifat (Allah) – terutama adalah aku – sebagai Mujassim, hanya karena kita menetapkan sifat-sifat Allah. Dan aku kira engkau telah mengetahui kitabku “Mukhtashor al-‘Uluw karya adz-Dzahabi.” Engkau telah mengetahuinya?

Penanya kedua: Iya.

Syaikh: Dan pendahuluan (yakni kitab Mukhtashor al-‘Uluw – pent) yang mencapai sekitar lima puluh halaman, tujuh puluh halaman, semuanya adalah pendahuluan yang memadukan antara penetapan sifat dan penyucian sifat. Meskipun demikian setiap kali menyebut tentangku disebut di dalam kurung “Mujassim, mujassim, mujassim.” Dan dia ketika menafsirkan firman Allah,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.” (al-Mulk: 16)

Dia berkata, “Sesungguhnya keyakinan Allah berada di langit adalah keyakinan jahiliyah, orang-orang musyrik pada zaman jahiliyah.” Dari sinilah dia bertolak dan mempertentangkan hadits Jariyah dengan menyatakan hadits ini palsu, karena hadits ini mengandung keyakinan orang-orang musyrik (yakni menurut anggapannya). Al-Jariyah ini mengatakan Allah berada di langit sedangkan dia mengatakan ini adalah perkataan orang-orang musyrik.

Penanya kedua: Beberapa waktu lalu as-Saqqaf mengunjungi Syaikh Nasib ar-Rifa’i. Dan setelah kami selesai sholat Jum’at di masjid kami, saya dan Syaikh Ahmad Salik singgah di tempat Syaikh Nasib. Karena ketika itu beliau sedang sakit. Tiba-tiba as-Saqqaf datang, yakni kami mendahuluinya.

Syaikh: Datang kemana?

Penanya kedua: Ke Syaikh Nasib.

Syaikh: Di rumahnya?

Penanya kedua: Iya benar.

Syaikh: Di Bil’adah?

Penanya kedua: Tidak, pada kedua kalinya dia datang. Lalu Syaikh Nasib berkata kepadanya, “Engkau mentakwil sifat dan menolaknya. Apa dalilmu atas takwil ini?” Dia berkata, “Dalilku bahwa al-Bukhari juga mentakwil.”

Syaikh: Laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Penanya kedua: Lalu Syaikh Ahmad Salik berkata kepadanya, “Wahai Hasan, apakah engkau menetapkan Allah memiliki Dzat?” Dia berkata, “Iya.” Syaikh berkata, “Lalu bagaimana dengan sifat menurutmu? Sebagaimana Dia memiliki Dzat yang tidak seperti dzat-dzat (makhluk), begitu pula tangan-Nya tidak seperti tangan-tangan (makhluk).” Dia berkata, “Aku tidak datang untuk berdebat.”

Syaikh: Inilah kebiasaannya.

Penanya kedua: Kemudian dia berkata kepada Syaikh Nasib bahwa “Syaikh Nashir berkata tentang Anda, musyrik.” Lalu Syaikh Nasib berkata kepadanya, “Meski demikian, aku bersamanya dalam melawanmu.” Lalu dia duduk sebentar kemudian pergi dan tidak kembali setelahnya.

Syaikh: Dia dusta, tidak ragu lagi, A’udzu billah.

Penanya kedua: Iya, Wahai Syaikh kami, saya mengikuti seluruh risalah as-Saqqaf kecuali yang ini, bukan untuk mendiskusikan perkataan-perkataannya, saya hanya kembali kepada referensi yang dijadikan sumber nukilannya dan perkataan-perkataannya. Seluruh risalah yang dicetak, dan saya mendapati sesuatu yang sangat mengherankan.

Syaikh: Ahsanta.

Penanya kedua: Dan ini telah dikumpulkan dalam satu majmu’ah. Saya telah memberikannya kepada Syaikh Ali agar beliau melihatnya.

Syaikh: Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu.

Penanya kedua: Iya. Dan saya mendapati bahwa masalah bahasa juga… “Sampaikan tidak mengapa” (perkataan Syaikh al-Albani –pent). Saya heran, pada sebagian risalahnya dia menukil kesepakatan ahlul hadits bahwa tidak boleh menshahihkan dan mendha’ifkan hadits kecuali dari sisi orang yang telah mencapai derajat al-Hafizh. Dan dia berkata, di antara mereka adalah, al-Hafizh Ibnu Hajar dan as-Suyuthi.

Syaikh: Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Penanya kedua: Dan pernyataan ini belum ada seorang pun yang menyatakannya sebelumnya.

Syaikh: Dia adalah dajjal (pendusta). Semoga Allah membalasnya. Semoga Allah membalasnya.

Penanya kedua: Pada sebagian risalahnya dia mengklaim dan menyatakan bahwa Siyar A’lamin Nubala telah dicetak kecuali jilid terakhir saja yang di dalamnya ada biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, – dia mengatakan – wallahu a’alam, untuk apa mereka menyembunyikan kitab ini, yakni untuk apa.

Padahal biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dinukil oleh Ibnul Wazir dalam al-‘Awashim dan saya memiliki foto dari manuskripnya. Yang mentahqiq adalah Syu’aib al-Arnauth.

Syaikh: Iya, afwan, (Ibnul Wazir) menukilnya dari kitab Siyar?

Penanya kedua: Ibnul Wazir, iya (menukil dari kitab Siyar –pent). Dia berkata, “Dalam juz ini aku telah memperbanyak nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Maka inilah biografi beliau dari Siyar A’lamin Nubala.” Dan beliau menyampaikannya. Yakni, aku memiliki foto manuskripnya, subhanalloh, di sana ada pujian yang panjang.

Syaikh: Dan insya Alloh engkau berniat untuk menyebarkan hakikat orang ini (as-Saqqaf)?

Penanya kedua: Kami belum menasihatinya, yakni karena orang ini tidak terkenal, yakni tidak membantahnya itu lebih utama, tidak mengikuti mereka lebih utama. Akan tetapi insyaAlloh hati ini cenderung untuk melakukan hal itu.

Salah seorang hadirin: Engkau harus menjelaskan kebatilannya, ini wajib diberitahukan.

Penanya ketiga: Bedanya kitab-kitab as-Saqqaf dari yang lainnya di antara kitab-kitab yang menyerang Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, bahwa sampai orang awam pun bisa terpengaruh dengan kitab ini, yakni yang membaca kitab-kitab, baik dari kalangan cedekiawan, insinyur, sampai pun ahli kimia. Berbeda dengan bantahan-bantahan lainnya, seperti bantahan Mamduh Sa’id atau yang lain, tidak ada yang mampu mengetahuinya atau bereaksi bersamanya sampai pun kebanyakan dari para penuntut ilmu. Dari sini, nampak bahayanya kitab ini. Dan nampak juga pentingnya membantah kitab ini dengan bantahan yang ringkas, dengan risalah kecil yang bisa disebarluaskan. Risalah kecil saja untuk memberikan beberapa contoh penyimpangannya, dan kepalsuannya. Ditambahkan juga kejanggalan-kejanggalan yang ada padanya, berupa pengkafiran kepada Syaikhul Islam dan yang lain.

Syaikh: Iya, aku yakin amal yang engkau isyaratkan ini sangat penting.

Penanya kedua: Wahai Syaikh, saya belum berdiskusi dengannya, yakni, dia (mungkin) jahil.

Syaikh: Ini dia, wahai saudaraku, berdiskusi dengannya percuma, jangan berdiskusi dengannya, jangan. Semoga Allah membalasnya. Yang mengherankan, dia menukil dari “Tafsir al-Bahrul Muhith” karya Abu Hayyan tentang tafsir ayat yang telah lalu,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.” (al-Mulk: 16)

Sebuah tafsir yang sangat aneh!! Dia berkata, “Sesungguhnya Rabb kita berkata kepada orang-orang musyrik, apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang kamu sangka berada di langit!!!” A’udzubillah, Allahu Akbar, suatu hal yang sangat buruk, sangat buruk. Pembalikan kenyataan yang tidak ada bandingannya dalam membalik kenyataan. Engkau akan mendapati di sini, dalam kitabnya Ibnul Jauzi – engkau tahu bahwa Ibnul Jauzi sangat disayangkan menyimpang dari madzhab salaf dalam masalah sifat – dia menukil dari sebagian hanabilah yang sebenarnya pada mereka ada sedikit sikap ghuluw dalam menetapkan sifat. Maka as-Saqqaf ini ketika Ibnul Jauzi menyebutkan seorang dari hanabilah ini, dia meletakkan di antara tanda dua kurung, “Mujassim Fulan,” “Mujassim Fulan.” Bagaimana dia membolehkan bagi dirinya untuk memberikan sisipan dalam kitab orang lain. Seandainya saja dia menyebutkan di pendahuluan bahwa dialah yang membuat istilah ini, tapi dia meninggalkannya agar orang-orang tersesat.

Penanya kedua: Wahai Syaikh kami, saya melihat dia memiliki kitab, “asy-Syihabul Hariq fir Rodd ‘alal Albani al-Mariq.” Pada awal kitab itu dia menyebutkan pendahuluan yang dia sebut Muqaddimah Za’faraniyah – masya Allah – ilmunya telah sampai padanya untuk menulis suatu muqaddimah. Lalu dia memunculkan sebagian pertanyaan kepada Anda, dengan bahasa yang kuat. Dalam fikiranku, bahwa semacam ini tentu kita akan mengatakan di akhirnya dia akan menyusun kalimat dengan baik karena dia telah memulai, tapi setelah selesai dia mengatakan, “wa nahnu ‘ala tsiqotan” yakni dengan tanwin di atasnya.

Syaikh: Mengherankan.

Penanya kedua: Lalu terlintas dalam benakku agar saya kembali merujuk ke kitab-kitab Maqamat. Maka aku pun kembali merujuk kepada kitab Maqamat al-Hariri. Ternyata sama dengan Maqamat yang ditulis oleh al-Hariri. Dia menyebutkan bahwa dia pergi menuju Haram dan di sana ada seorang Syaikh yang menampakkan diri untuk berfatwa, dan datanglah kepadanya seseorang yang selalu di gelari dengan Abu Yazid as-Sabuki. Berdirilah kepadanya seorang pemuda yang fasih lisannya lalu bertanya kepadanya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan fikih yang ada kesamaran. Maka as-Saqqaf menyebutkannya, dan dia merendahkan Anda sedangkan dia adalah pemuda yang bertanya yang fasih lisannya. Dia telah merubah al-Maqamah sehingga orang-orang berfikiran dia memiliki Maqamat.

Syaikh: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahul Musta’an

Penanya kedua: Setelah itu wahai Syaikh kami, dia berkata – ketika aku duduk bersamanya di sisi Syaikh Nasib – saya katakan padanya, engkau berkata dalam satu kitab, Syaddad bin Rifa’ah al-Qitbani. Dia berkata, yang benar adalah al-Fitbani dan ini adalah bukti kebodohan al-Albani karena dia berkata al-Qitbani.

Saya katakan kepadanya, pertama, Syaikh Nashir menukil dari Sunan Ibnu Majah. Dan dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan al-Qitbani. Yang kedua, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib (menyebutkan): Syaddad bin Rifa’ah atau Rifa’ah bin Syaddad al-Qitbani, dengan mengkasrohkan huruf Qoof. Di sini, apakah Syaikh Nashir dituntut untuk mengikuti semua kitab untuk mengatakan al-Qitbani bukan al-Fitbani? Apalagi di sana ada dua nisbat menurut ahlul hadits, ada yang benar-benar al-Qitbani dan ada juga yang al-Fitbani. Maka dia tidaklah dituntut dengan perkataan Ibnu Hajar. Dia berkata, Aku tahu Ibnu Hajar berkata demikian. Saya katakan kepadanya, baiklah kenapa engkau menyamarkannya kepada manusia. Dia berkata, untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa al-Albani tidaklah makshum. Saya katakan kepadanya, untuk apa, siapa yang mengklaim kemakshumannya!!!

Syaikh: Masya Allah, masya Allah. Orang ini mencari-cari kesalahan orang lain.

Penanya kedua: Tatkala datang Syaikh Ahmad Salik, dia berkata kepadanya, “Ini tulisan-tulisanku, lihatlah kepadanya.” Maka Syaikh Ahmad Salik mengambil kitab dan memperhatikannya. Dia berkata, “Tulisan-tulisan ini ingin kamu sebarkan kepada manusia?” Dia berkata, “Iya.” Syaikh Ahmad berkata, “Ini kesalahan penulisan, ini kesalahan dalam nahwu, ini salah?” Maka merahlah wajahnya dan dia pun malu.

Salah seorang hadirin: Dia malu, semoga Allah menunjukinya.

Syaikh: Laa haula wa laa quwwata illa billah

SELESAI

Sumber : Silsilah Huda wan Nuur No.Kaset 595 , transkrip didapat dari http://www.kulalsalafiyeen.com

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (2)

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (2)
Penulis Syaikh Albani ⋅ November 24, 2009 ⋅

PERMINTAAN KEPADA SYAIKH AGAR MENASIHATI MEREKA UNTUK MENETAPI SIKAP LEMAH LEMBUT DALAM DAKWAH ILALLAH

Penanya: Wahai Syaikh, banyak di antara kalangan Salafiyun yang menggunakan sikap keras dan tidak menggunakan sikap lembut. Mereka menggunakan sikap keras tidak pada tempatnya. Dan mereka tidak menggunakan sikap lembut pada tempatnya. Jumlah mereka tidaklah sedikit. Kami katakan semua kelompok melakukan seperti ini, akan tetapi mereka tidaklah sedikit. Dalam pertanyaanku ini aku tidak ingin menyamakan Salafiyun dengan kelompok-kelompok lain. Tidak penting bagiku urusan kelompok yang lain. Yang penting bagiku adalah urusannya Salafiyun.

Banyak dari kalangan Salafiyun – dan mereka tidak sedikit – yang menghalangi manusia dari manhaj salaf disebabkan karena cara dakwah mereka kepada manusia. Dan mereka tidaklah sedikit. Maksudku dari pertanyaan yang direkam oleh saudara Muhammad adalah agar Anda memberikan nasihat kepada mereka yang diuji dengan sikap keras dan dada yang sempit. Inilah maksud dari pertanyaan itu.

Syaikh: Semoga Allah memberkahimu, pengarahan nasihat tidak diperlukan dari orang seperti saya. Salafiyun dan yang lain mengetahui ayat yang telah kami sebutkan tadi,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah menuju jalan Rabbmu dengan cara hikmah, nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 16)

Dan mereka lebih banyak membaca dari yang lain, hadits Aisyah – rodhiyallohu ‘anha – ketika datang seorang Yahudi dengan mengucapkan salam kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – dengan membelokkan lisannya mengatakan, “Assaamu ‘alaikum” (kematian atasmu). Maka Aisyah mendengar ucapan salam yang dibelokkan ini sehingga dia pun mengibaskan hijab sampai-sampai hampir terbelah menjadi dua – sebagaimana disebutkan dalam hadits – karena marah, maka dia pun menjawab, “Wa’alaikumussaam wal la’nah wal ghodhob ikhwatal qirodah wal khonaziir.” (Dan atas kalian kematian, laknat dan kemurkaan wahai saudara-saudara kera dan babi). Adapun Rasul – shollallohu ‘alaihi wa sallam – tidak lebih dari mengucapakan, “Dan atasmu juga.” Tatkala orang yahudi itu telah pergi dari sisi Rasul – shollallohu ‘alaihi wa sallam – beliau mengingkari Aisyah dan berkata kepadanya, “Wahai Aisyah, tidaklah sikap lembut ada pada suatu perkara kecuali akan menghiasinya. Dan tidaklah sikap kasar ada pada suatu perkara kecuali akan menjelekkannya.” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda mendengar ucapannya?” Beliau bersabda, “Tidakkah engkau mendengar jawabanku?”

Jika demikian, Aisyah yang dididik sejak kecilnya di rumah kenabian dan risalah saja masih menggunakan sikap keras pada tempat kelembutan, lalu apa yang akan kita katakan pada selainnya, yaitu dari kalangan Salafiyun – sebagaimana engkau katakan – sedangkan mereka tidak dididik di dalam rumah kenabian dan risalah.

Bahkan sekarang aku katakan suatu kalimat yang mungkin pernah masuk pendengaranmu suatu hari dari sebagian kaset rekaman dari lisanku ini, bahwa rusaknya dunia islam pada hari ini sebagai reaksi dari kebangkitan islam, bahwa kebangkitan ini tidak disertai dengan tarbiyah islamiyah. Tidak ada tarbiyah islamiyah pada hari ini.

Oleh karena itu aku meyakini pengaruh dari kebangkitan ilmiyah ini akan melewati masa yang panjang sampai nampak pengaruh tarbiyah dari kebangkitan ini terhadap generasi yang tumbuh saat ini pada batasan kebangkitan islam. Ini adalah perilaku dari individu-individu.

Akan tetapi individu-individu ini hidup di bawah naungan rahmat Allah – ‘azza wa jalla –. Di antara mereka ada yang dekat dan di antara mereka ada yang jauh. Oleh karenanya, dari sisi ilmu dan pemikiran, kita tidak akan mendapati orang yang membantah dan menyelisihimu dalam prinsip bahwa hukum asal dalam dakwah adalah dengan sikap lembut dan nasihat yang baik.

Namun yang penting adalah penerapannya. Dan penerapan ini membutuhkan seorang pembimbing, membutuhkan pendidik yang mendidik puluhan penuntut ilmu. Sedangkan para penuntut ilmu ini akan keluar dari tangan pendidik ini sebagai pendidik bagi yang lain. Dan begitu seterusnya sampai tersebarnya tarbiyah islamiyah ini sedikit demi sedikit dengan dilakukannya tarbiyah oleh para pembimbing terhadap para murid yang ada di sekitarnya. Tidak diragukan lagi, perkaranya sebagaimana yang Allah firmankan,

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 35)

Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar Dia menjadikan kita sebagai umat pertengahan yang tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan.

Penanya: Semoga Allah membalas kebaikan kepada Anda wahai Syaikh.

Salah seorang hadirin: Wahai Syaikh, terkadang, ketika seorang sunni menjumpai orang yang menyelisihinya dari kalangan ahlul bid’ah, mereka menentang dan sombong. Yakni sebagaimana Allah telah perintahkan kepada Musa untuk bersikap lembut terhadap Fir’aun, namun bersamaan dengan itu Musa berkata :

Aku benar-benar menduga engkau akan binasa (Al Isra 102)

Maksudnya wahai Syaikh, kami di perkuliahan demi Allah ada para Doktor yang mengolok-olok kami ketika kami katakan kepada mereka “Rasul bersabda…” Yakni jika seseorang keluar dari jalurnya dan menggunakan sikap keras terhadap mereka, maka sikap keras di sini tidak bisa dikatakan keras. Saya tertarik dengan permisalan yang saya dengar dari Anda wahai Syaikh kami, “Tembok berkata kepada paku kenapa kamu melubangiku, paku mengatakan tanyalah orang yang memukulku.”

Syaikh: Benar.

Salah seorang hadirin: Demikian juga wahai Syaikh kami, suatu kali kami pernah berdiskusi dengan sebagian anggota Hizbut Tahrir. Dan tidak samar bagi Anda bahwa tujuan mereka adalah permasalahan khilafah. Sedangkan kami, tujuan kami yang pertama adalah aqidah dan tauhid. Maka tatkala kami memulai (diskusi) dengan mereka dari landasan dasar dalam pembahasan ilmiyah – sebagaiamana yang kami pelajari dari Anda – kami mulai dengan permasalahan Asma wa Shifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Allah), salah seorang pembesar mereka berkata, “Apakah sepanjang malam kita terus terikat dengan jari dan kaki-Nya?!!”

Syaikh: Allahu Akbar.

Salah seorang hadirin: Apa yang kita katakan terhadapnya?

Syaikh: Allahu Akbar.

Salah seorang hadirin: Yakni, dia mengolok-olok sifat Allah ‘azza wa jalla. Apa yang kita katakan terhadapnya?

Syaikh: Bagaimanapun juga, kita memohon kepada Allah agar Dia memberikan hikmah kepada kita, yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Salah seorang hadirin: Ya Syaikh, di dalam Ahkamul Janaiz disebutkan perkataan Ibnu Mas’ud tatkala ada seseorang yang mengatakan, “Mintakanlah ampun untuk saudaramu.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Semoga Allah tidak mengampuninya.”

Syaikh: Bersama dengan ini contoh yang sangat banyak. Saudara Abdullah mengingatkan kita dengan suatu atsar (riwayat dari salaf -pent) bahwa ada seorang sahabat, barangkali dia adalah Abdullah bin Mas’ud atau Abdullah bin Umar.

Salah seorang hadirin: Umar sendiri.

Syaikh: Umar sendiri?

Salah seorang hadirin: Umar sendiri. Ketika ada seseorang yang berkata, “Mintakanlah ampunan untuk saudaramu.” Umar berkata, “Semoga Allah tidak mengampuninya.”

Syaikh: Bagaimana pendapatmu tentang ini?

Tidak diragukan engkau adalah yang pertama kali, jika engkau melihatku mengucapkan kalimat ini, engkau akan mengatakan Syaikh bersikap keras. Akan tetapi di sini, pada diri orang yang mengingkari ini ada kecemburuan terhadap syariat yang membuatnya bersikap keras dalam ucapan. Sedangkan orang lain yang bersikap longgar, dia tidak berada pada kecemburuan yang ada pada orang tadi sehingga memunculkan perkataan tersebut. Di sini, mereka berkata di antara kita di Suria, “Pelan-pelan wahai Rasulullah ini sikap keras.” Ini adalah logat Suria yang salah. Akan tetapi maksud mereka menyeru Rasul yakni seolah-olah sikap keras ini muncul dari Rasul, padahal yang mereka maksud adalah orang ini.

Subhanallah, permasalahan ini hendaknya diperhatikan dari segala sisinya sehingga seseorang bisa menghukumi dengan adil. Kemudian juga, yang nampak bagiku saat ini, di antara sebab tersebarnya tuduhan ini, jika benar bahwa ini adalah tuduhan kepada Salafiyun, engkau tahu bahwa orang yang banyak ucapannya tentu banyak kesalahannya. Dan orang-orang yang berbicara dalam permasalahan syar’i adalah Salafiyun.

Oleh sebab itu, pasti mereka akan melakukan kesalahan karena banyaknya ucapan mereka sehingga nampaklah kesalahan mereka. Dan di antara kesalahan ini adalah sikap keras menurut orang-orang lain yang mereka tidak membicarakan permasalahan ini. Padahal jika sikap keras ini dilihat dalam keumuman sikap yang muncul dari mereka, yang berupa ketulusan untuk bersikap adil, berimbang dan bersikap lembut, tentu akan kita dapati sikap keras dari semisal contoh yang telah kita sebutkan dari sebagian salaf dan di hadapan Rasul – ‘alaihissalam -. Akan tetapi kita tidak boleh menisbatkan kepada mereka para sahabat yang terjatuh ke dalam sikap keras pada sebagian perkara tertentu, bahwa mereka adalah orang-orang yang keras. Hanya saja – sebagaimana kita katakan – aku, engkau dan selainmu kadang terjatuh ke dalam salah satu bentuk sikap keras.

Penanya kedua: Yang dijadikan patokan adalah sifat yang menonjol.

Syaikh: Iya?

Penanya kedua: Yang dijadikan patokan adalah sifat yang menonjol. Sifat yang menonjol pada diri Nabi – shollallohu ‘alaih wa sallam – adalah lemah lembut, meskipun beliau bersabda, “Fulan telah dusta,” atau “apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah,” atau yang semisalnya.

Sumber : Silsilah Huda wan Nuur No.Kaset 595 , transkrip didapat dari http://www.kulalsalafiyeen.com

Bersambung….

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (1)

Transkrip Tanya Jawab Syaikh Albani : Lemah Lembut (1)
Penulis Syaikh Albani ⋅ November 21, 2009 ⋅


APA HUKUM BERSIKAP LEMAH LEMBUT DALAM DAKWAH?

Penanya: Wahai Syaikh, ini ada pertanyaan tentang dakwah. Sikap lemah lembut, ramah dan halus adalah termasuk sunah yang benar dari Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –

Syaikh: Begitulah.

Penanya : Apakah dalam dakwah wajib ada sikap lemah lembut dan harus dilaksanakan, ataukah hal itu mustahab (hukumnya -pent)?

Syaikh: Hal itu hukumnya wajib.

Penanya: Baiklah, pertanyaan tadi ada maksudnya, ada tujuannya.

Syaikh: Di balik bukit pasti ada sesuatu, baiklah.

BENARKAH BAHWA SALAFIYUN TERKENAL DENGAN SIKAP KERASNYA DALAM DAKWAH?

Penanya: Salafiyun dengan beragamnya mereka terkenal dengan sikap keras dan kurang lembut dalam berdakwah, ini mungkin benar. Jika Anda memandang hal ini benar – dan inilah pandangan saya – apa komentar Anda atas hal yang semacam ini?

Syaikh: Pertama, dalam ucapanmu itu ada yang perlu diperhatikan. Yaitu perkataanmu, “ini mungkin benar,” demikian?

Penanya: (Saya katakan) Jika Anda memandang hal ini benar.

Syaikh: Pertama engkau katakan “ini mungkin benar” maksudnya adalah apa yang dikatakan tentang mereka berupa sikap keras mungkin benar. Apakah engkau termasuk mereka?

Penanya: Iya, maaf, saya telah mengatakannya, iya.

Syaikh: Di sini perlu diperhatikan. Kami ingin menarik perhatian saudara-saudara kami, ketika mereka berbicara dengan ucapan seperti ini, kami katakan ini adalah perkataan diplomatis. Seringnya mereka tidak memaksudkan perkataan itu. Akan tetapi perkataan itu hanyalah yang ada dalam hati, hanya saja lisan dijadikan sebagai petunjuk atas apa yang ada dalam hati. Maka tatkala seseorang berkata dalam satu perkara, “mungkin seperti ini” maka perkataan ini berhadapan dengan lawannya yaitu, “mungkin tidak seperti itu.” Apakah demikian?

Penanya: Benar.

Syaikh: Sekarang, di sini ada dua hal yang muncul berkaitan dengan pertanyaanmu, dan setelah itu kita akan meneruskan jawaban. Apakah engkau yakin terhadap pernyataan bahwa Salafiyun tidak memiliki kelemahlembutan, yang ada hanya sikap keras pada mereka dan sikap keras ini adalah manhaj mereka, apakah engkau yakin akan hal ini? Engkau telah membuka untukku pintu pertanyaan ini, karena engkau telah berkata, “ini mungkin benar.”

Penanya: Saya telah mengucapkannya, maafkan perkataan saya.

Syaikh: Jika demikian, (sekarang) kami ingin mendengar perkataan yang benar. Apa itu?

Penanya: Apakah aku ulangi perkataan tadi?

Syaikh: Tidak, jangan kamu ulangi, karena itu perkataan yang salah. Jika tidak demikian, kenapa kamu minta maaf? (Yang kami inginkan -pent) engkau mengulangi pendapatmu dengan cara yang benar, tanpa pernyataan “mungkin”. Jelas?

Penanya: Iya. Syaikh: Baiklah, silahkan.

Penanya: [Di sini penanya mengulangi ucapannya dan jawaban Syaikh yang lalu]… Salafiyun, – menurut pendapat saya – mereka terkenal dengan sikap yang keras dan kurang lembut dalam dakwah. Ini adalah pendapat saya.

Syaikh: Engkau termasuk mereka?

Penanya: Saya berharap demikian.

Syaikh: Engkau berharap demikian. Engkau termasuk mereka, maksudnya engkau salafi?

Penanya: Iya.

Syaikh: Baiklah, engkau termasuk Salafiyun yang keras?

Penanya: Saya tidak mentazkiah diri saya… maksudku adalah sifat yang nampak.

Syaikh: Perkaranya sekarang bukanlah perkara tazkiyah. Akan tetapi tentang penjelasan kenyataan. Sebagaimana kami katakan, perkaranya, engkau sekarang yang memulai pertanyaan, ini dalam rangka saling menasehati. Tidak tepat di sini pernyataan, “Saya tidak mentazkiyah diri saya.” Karena engkau hendak menjelaskan kenyataan. Seandainya engkau bertanya kepadaku dengan pertanyaan ini, aku akan menjawab, “menurut persangkaanku, aku bukan orang yang bersikap keras.” Akan tetapi hal ini tidak berarti aku mentazkiyah diriku, karena aku memberitakan tentang kenyataanku. Maka pikirkanlah pertanyaannya.

Penanya: Iya, jawabku sebagaimana jawaban Anda, wahai Syaikh.

Syaikh: Jika demikian, tidak benar kita memutlakkan pernyataan bahwa Salafiyun bersikap keras. Yang benar kita katakan, sebagian mereka bersikap keras. Apakah jelas sampai di sini?

Penanya: Iya.

Syaikh: Baiklah, jika demikian, kita katakan bahwa sebagian Salafiyun memiliki metode dakwah yang keras. Akan tetapi, apakah engkau melihat sifat ini merupakan kekhususan Salafiyun?

Penanya: Tidak. Syaikh: Kalau begitu, apa faidahnya dan apa maksud dari pertanyaan ini?! Ini yang pertama. Dan yang kedua, sikap lembut yang kita katakan hukumnya wajib, apakah dia berhukum wajib selamanya?

Penanya: Tidak selamanya.

Syaikh: Jika demikian kita telah mengeluarkan kesimpulan berikut. Pertama, tidak boleh bagimu dan juga selainmu untuk menyifati satu kelompok manusia dengan satu sifat lalu engkau menggeneralisir sifat itu kepada keseluruhan mereka. Kedua, tidak boleh bagimu untuk memberikan sifat ini kepada salah seorang individu kaum muslimin baik salafi atau kholafi – dalam batasan istilah kita – kecuali dalam sebagian perkara tertentu, selama kita sepakat bahwa sikap lembut tidak disyariatkan untuk berlaku selalu dan selamanya. Kita mendapati Rasul – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah menggunakan sikap keras yang jika sikap itu dilakukan oleh seorang salafi pada hari ini niscaya orang-orang akan mengingkarinya dengan keras. Contohnya, barangkali engkau mengetahui kisah Abu Sanabil, apakah engkau ingat kisah ini?

Penanya: Tidak, tidak. Syaikh: Ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan dia dalam keadaan hamil. Lalu dia pun melahirkan. Dan telah sampai kepadanya dari Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bahwa seorang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya akan berakhir masa ‘iddahnya jika dia melahirkan anaknya. Hadits itu menyebutkan – dan hadits ini ada dalam Shahih al-Bukhari – bahwa setelah wanita itu melahirkan dia pun berhias, bercelak dan mempercantik diri untuk bersiap menerima pinangan. Maka Abu Sanabil melihatnya, sedangkan dulu dia pernah meminangnya namun wanita itu enggan. Berkatalah Abu Sanabil kepadanya, (bahwa) tidak halal bagimu (berhias diri) kecuali setelah berakhirnya masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya – yaitu empat bulan sepuluh hari –. Dan nampaknya wanita itu adalah orang yang perhatian terhadap agamanya, sehingga tidak lain yang dia lakukan adalah berjilbab dan bersegera menuju Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – lalu menyampaikan kepada beliau apa yang dikatakan Abu Sanabil kepadanya. Maka Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Abu Sanabil telah berdusta.” Apakah ini sikap keras ataukah sikap lembut?

Penanya: Iya, itu sikap keras.

Syaikh: Siapa yang melakukan? Yang melakukan adalah bapak kelemahlembutan. (Allah berfirman :

وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)

Jika demikian, prinsip lemah lembut bukanlah kaidah yang berlaku menyeluruh sebagaimana telah kita sepakati baru saja. Hanya saja hendaknya seorang muslim mampu menempatkan kelemahlembutan pada tempatnya dan sikap keras pada tempatnya. Demikian pula contohnya, sebagaimana dalam Musnad Imam Ahmad, ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – berkhutbah berdirilah seorang sahabat dan berkata kepada beliau, “Apa yang Allah kehendaki dan yang engkau kehendaki wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?! Katakanlah, apa yang Allah kehendaki saja.” Apakah ini sikap keras atau lembut?

Penanya: Gaya bicara Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam -.

Syaikh: Jawaban semacam ini, aku sebut usaha untuk mengelak. Karena engkau tidak menjawabku sebagaimana jawabanmu sebelumnya ketika aku katakan kepadamu tentang Abu Sanabil bahwa Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – berkata, “Abu Sanabil telah berdusta.” Apakah ini sikap keras ataukah sikap lembut? (Engkau jawab) ini sikap keras.

Penanya: Ini sikap keras, iya.

Syaikh: Dan ini yang kedua.

Penanya: Tapi beliau hanya menjelaskan kepadanya dengan perkataan, “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?”

Syaikh: Ini juga usaha untuk mengelak – semoga Allah memberkahimu –. Aku tidak bertanya kepadamu apakah beliau menjelaskan atau tidak. Aku bertanya kepadamu, sikap keras atau sikap lembut? Kenapa sekarang metodemu berubah dalam menjawab? Tadi engkau tidak mengatakan, beliau menjelaskan kepadanya, “Abu Sanabil telah berdusta.” Beliau memang menjelaskan. Akan tetapi apakah penjelasan ini dengan gaya yang lemah lembut – sebagaimana telah kita sepakati bahwa kelemahlembutan adalah kaidah (dalam dakwah) – ataukah pada penjelasan itu ada sikap keras? Engkau menjawab dengan tegas, padanya ada sikap keras. Dan sekarang, apa yang terlewat dari apa yang nampak dalam pertanyaan kedua?

Penanya: (Tentang) pertanyaan kedua, beliau tidak menyatakan dia orang yang berdusta, beliau bersabda, “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah.”

Syaikh: Allahu Akbar, ini pengingkaran yang lebih jelas – semoga Allah memberkahimu.

Salah seorang hadirin berkata: Wahai Syaikh kami, (Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Seburuk-buruk penceramah adalah engkau.” Dalam riwayat Muslim.

Syaikh: Iya, dalam kisah yang lain. Engkau ingat hadits ini? Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia telah lurus. Dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya maka dia telah tersesat. Beliau bersabda, “Seburuk-buruk penceramah adalah engkau.” Ini sikap keras atau lembut?

Penanya: Iya, keras.

Syaikh: Yang penting – semoga Allah memberkahimu – di sana ada metode lemah lembut dan ada metode keras. Sekarang, setelah kita sepakat bahwa di sana tidak ada satu kaidah yang berlaku untuk semuanya, berlaku selamanya; bersikap lembut, lembut, dan lembut selamanya, atau bersikap keras, dan keras selamanya.

Penanya: Iya.

Syaikh: Jadi, terkadang bersikap lembut dan terkadang bersikap keras. Sekarang, ketika Salafiyun semuanya dituduh bersikap keras, apakah engkau tidak melihat bahwa Salafiyun – dibandingkan dengan kelompok, jamaah dan golongan lain – memberikan perhatian untuk mengetahui hukum-hukum syar’i dan mengajak manusia kepadanya dengan perhatian yang lebih besar dari yang lain?

Penanya: Tidak diragukan.

Syaikh: Tidak diragukan – semoga Allah memberkahimu. Jika demikian, dengan sebab perhatian yang melebihi perhatian (kelompok) lain dari sisi ini, kelompok lain menganggap amar makruf dan nahi munkar (yang dilakukan) meskipun disertai dengan kelemahlembutan, sebagai sikap keras. Bahkan sebagian mereka mengatakan, sekarang bukanlah zamannya. Bahkan sebagian mereka bersikap melampaui batas dan mengatakan, pembahasan masalah tauhid pada hari ini akan memecah belah barisan. Jika demikian – semoga Allah memberkahimu – maka hal yang ingin aku capai bersamamu adalah bahwa permasalahan ini merupakan permasalahan yang nisbi (relatif). Yakni, seseorang yang tidak memiliki semangat dalam berdakwah, dan secara khusus dalam masalah furu’ yang mereka namakan sebagai kulit atau perkara sekunder, niscaya akan menganggap suatu pembahasan meskipun disertai dengan metode yang baik, akan dianggapnya sebagai pembahasan yang keras dan tidak pada tempatnya. Tidak pantas bagimu – sedangkan engkau adalah seorang salafi seperti kami – untuk menyebarkan di tengah-tengah manusia – meski mereka berjumlah sedikit pada saat ini – dan menyebutkan bahwa Salafiyun adalah orang-orang yang keras. Karena kita telah sepakat hanya sebagian mereka saja yang bersikap keras. Dan hal ini juga terjadi walaupun di kalangan para sahabat; di antara mereka ada yang bersikap lembut dan di antara mereka ada yang bersikap keras. Barangkali engkau mengetahui kisah seorang Arab badui yang ingin kencing di masjid. Lalu apa yang diinginkan oleh para sahabat? Mereka ingin memukul orang tersebut. Apakah ini sikap lembut atau keras?

Penanya: Ini sikap keras.

Syaikh: Sikap keras. Akan tetapi, apa yang Rasulullah katakan kepada mereka? (Beliau mengatakan), “Biarkan dia.” Jika demikian, terkadang tidak ada yang selamat dari sikap keras kecuali hanya sedikit manusia. Akan tetapi yang benar, bahwa kaidah dalam berdakwah adalah hendaknya dakwah didasari atas hikmah dan nasihat yang baik. Sedangkan termasuk hikmah adalah meletakkan sikap lembut pada tempatnya dan sikap keras pada tempatnya. Maka jika kita menyifati sebaik-baik kelompok islam dengan sikap keras secara mutlak, yang mana kelompok itu memiliki keistimewaan dari kelompok lain berupa semangatnya untuk mengikuti al-Kitab, as-Sunnah dan jalan yang ditempuh as-Salaf ash-Shalih, maka aku menganggap ini bukanlah sikap yang adil sama sekali. Bahkan ini sama sekali tidak termasuk syariat Islam. Adapun jika dikatakan, di antara mereka ada yang bersikap keras, maka siapa yang bisa mengingkari. Selama di kalangan para sahabat masih ada yang bersikap keras tidak pada tempatnya, maka sangat lebih dimungkinkan lagi adanya orang yang bersikap keras di kalangan orang belakangan seperti kita ini. Kemudian, sekarang kita membicarakan seorang individu tertentu. Anggaplah dia adalah orang yang sangat lembut dan halus. Apakah dia akan selalu selamat dari menggunakan sikap keras yang tidak pada tempatnya?

Penanya: Tidak selalu.

Syaikh: Jika demikian – semoga Allah memberkahimu – perkara ini telah selesai. Dan kewajiban kita tidak lain adalah agar saling menasihati. Jika kita melihat seseorang yang memberi nasihat, wejangan dan peringatan dengan sikap keras yang tidak pada tempatnya, maka kita ingatkan dia, mungkin dia memiliki sisi pandang (sehingga dia bersikap keras). Jika dia ingat maka semoga Allah membalas kebaikan untuknya. Namun jika dia memiliki sisi pandang tertentu, maka kita dengarkan hal itu darinya dan selesailah urusannya.

Sumber : Silsilah Huda wan Nuur No.Kaset 595 , transkrip didapat dari http://www.kulalsalafiyeen.com

Sekelumit Kisah Pencekalan Syaikh Albani

Sekelumit Kisah Pencekalan Syaikh Albani
Penulis Abu Ishaq Al Huwainy ⋅ August 6, 2009 ⋅

Dalam sebuah kaset ceramah milik Syaikh Abu Ishaq Al Huwainy yang berjudul “Ainal Ulama Ar Rabbaniyun?”, beliau menceritakan tentang ujian yang pernah menimpa guru beliau Syaikh Albani rahimahullah.Inilah cerita beliau :

Para ulama Rabbani dalam mengubah masyarakat itu sungguh berat,karena mereka memiliki dua tanggung jawab besar,yakni :

* (1) Membersihkan khurafat yang tertanam di jiwa-jiwa manusia dan
* (2)Menancapkan Islam yag shahih pada jiwa mereka.

Dan tatkala para Alim Rabbani memikul tanggung jawab yang berat sekali itu, merekapun juga diuji oleh berbagai tuduhan yang disebabkan dari pemelintiran ucapan mereka serta penyebaran berbagai berita dusta. Hampir-hampir tidak selamat seorangpun dari Alim Rabbani dari hal seperti ini sebagaimana dicatat dalam sejarah.

Cukup sebagai contoh adalah Syaikh Nashiruddin Al Albani,seorang ahli hadist abad ini rahimahullah ta’ala.

Syaikh Albani adalah orang yang sangat banyak sekali dinisbatkan kedustaan padanya, padahal tidak pernah beliau katakan.Karena sebab kedustaan-kedustaan itulah beliau pernah dicekal di sejumlah negara. Maka tidaklah engkau lihat beliau memiliki suatu negeri ataupun tempat tinggal.Hidup beliau diakhir masa hidupnya sengsara sekali.Seorang alim semisal beliau terpaksa mengungsi.Karena beliau berpendapat haramnya safar ke negeri kafir,maka beliau tidak pergi ke Amerika atau Perancis atau yang lainnya.Dan kalau tidak berpendapat demikian,mungkin beliau akan mendapatkan kebebasan besar dinegara-negara tersebut.

Selama 6 bulan terkatung-katung nasibnya di perbatasan UEA! Beliau dilarang masuk kesana!Juga dilarang memasuki Kuwait! Dan juga memasuki Saudi! Dilarang memasuki Suriyah…..Lantas bagaimana beliau akan tinggal?

Dan tidaklah beliau bisa tinggal di Yordania saat itu kecuali dengan tazkiyah (rekomendasi) khusus dari salah seorang murid beliau,yakni Syaikh Muhammad bin Ibrahim Syaqrah ,wakil kementrian waqaf sekaligus Imam Masjid Dar Ash Shofwah.

Syaikh Ibrahim Syaqrah ini kemudian menemui Raja Husain secara pribadi memintanya membolehkan Syaikh Nashiruddin Al Albani tinggal di negeri Yordan.Itupun dengan kesepakatan agar beliau tidak ditemui seorangpun saat itu.Dan juga mereka kemudian memaksa menulis di pintu rumah (vila) Syaikh Albani dengan tulisan “ Dilarang didatangi lebih dari dua orang!”.Jika ingin berjumpa harus melalui perjanjian melalui telepon.

Dan dihari-hari pertama mereka sangat mempersempit sekali kepada Syaikh Albani,akan tetapi dihari-hari belakangan mereka melupakannya hingga tidak ketat lagi dengan aturan-aturan ini.

Tatkala aku menemui Syaikh Albani di kota Amman , beliau mengundang sejumlah relasi untuk makan dan kebetulan aku disana.Kami saat itu berjumlah 25 orang ,dan kukatakan pada Syaikh :”Wahai Syaikh,bukankah ada semacam banner peringatan bahwa dilarang masuk lebih dari dua orang?” .Syaikh Albani berkata dengan cepat:Mereka masuk dua orang dua orang saja!

Beliau yang Alim ini tidak mendapatkan baginya tempat yang nyaman.Sebelumnya mereka pun melarang durus beliau di Masjib Umar di Zurqa,hingga beliau tidak memiliki tempat untuk memberi pelajaran kepada thalabul ilmi kecuali dirumah salah seorang mereka setelah sholat isya.

Saat diselenggarakan Mu’tamar Assunnah dan Sirah Nabawiyah di Mesir, mereka tidak mengundang Syaikh Nashiruddin Albani ,padahal beliau lah orang paling besar saat itu jasa nya kepada kaum muslimin di abad ini bagi sunnah dan sirah nabawiyah.Dan mereka tidak mengundang Syaikh Albani misalnya dengan mengaakan:”Kemarilah akan kami muliakan engkau” ,tidak ada salahsatu anggota pertemuan itu yang berbicara demikian.

Adalah semisal mereka para ulama Rabbani ini, lihatlah muamalah kepada mereka! Bagaimana mungkin kaum muslimin bisa mendapatkan manfaat dengan ilmu mereka sedang mereka diusir diberbagai negeri.!?. Bahkan yang lebih aneh lagi,sejumlah kitab-kitab ulama diberbagai perpustakaan di larang,buku Tahdzir As Sajid, buku Hurmatut Tashwir ,karya Syaikh Albani dan Syaikh Bin Baz dan sejumlah ulama ,Tahqiq Syarh Ath Thahawiyah,mengapa wahai saudara-saudara kami? Mereka mengatakan bahwa ini kitab terlarang, Al Azhar telah memutuskan bahwa kitab-kitab tersebut terlarang! Bagaimana bisa terlarang?Apakah karena karya dan peneliian dari Albani? Beginikah bermuamalah dengan ulama-ulama Rabbani ?

Sumber Kaset :Aina Al Ulama Ar Rabbaniyun menit ke 01:06:00 sampai 01:11:10 (Transkrip didapat dari http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=9266 )

Friday, March 12, 2010

Solat Berjemaah di Belakang Imam Berlainan Mazhab.

Mendirikan solat-solat fardhu secara berjemaah tetap menjadi tuntutan utama dalam Islam sekalipun dalam suasana musafir. Adalah menjadi suatu disiplin dan prinsip tegas baginda Nabi sallallahu-alaihi-wasallam untuk melaksanakan solat-solat fardhu secara berjemaah dan disiplin ini diteladani oleh Para Khalifahnya yang empat beserta lain-lain para sahabat, radiallahu-anhum. Keutamaan solat fardhu secara berjemaah diterangkan oleh sebuah hadith masyhur yang bermaksud: Solat berjemaah adalah 27 kali lebih tinggi kedudukannya daripada solat yang didirikan bersendirian.[1] Solat berjemaah harus diusahakan seboleh mungkin sekalipun bilangan orang adalah kecil, kerana solat bersendirian hanya akan membuka pintu-pintu gangguan syaitan Iblis, samada ketika solat mahupun di luarnya. Amaran Nabi sallallahu-alaihi-wasallam: Tidaklah 3 orang di suatu desa atau perkampungan yang tidak mendirikan solat sesama mereka melainkan syaitan akan menguasai mereka. Maka kalian harus berjemaah kerana serigala hanya akan memangsakan kambing yang liar berseorangan. Sesungguhnya serigala bagi manusia adalah syaitan, apabila hanya berdua lantas akan dimakannya (iaitu syaitan akan memangsakan manusia sebagaimana serigala memangsakan kambing-P).[2]

Mengingatkan kepada pesanan-pesanan serta sunnah teladan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam tentang keutamaan solat-solat fardhu berjemaah, kita amatlah dituntut agar melaksanakan solat-solat fardhu secara berjemaah samada di perkampungan asal, dalam perjalanan atau apabila telah tiba ke destinasi. Dalam setiap suasana solat fardhu berjemaah tetap menjadi penekanan agama dan sesiapa yang mendokonginya akan memperoleh ganjaran manakala bagi yang meremehkannya hanya akan merugikan diri sendiri beserta umat umumnya.

Walaubagaimanapun apabila seseorang itu bermusafir dari satu benua ke benua yang lain, mendirikan solat secara berjemaah akan menimbulkan dua persoalan, iaitu: Pertama - Apakah hukum solat di belakang imam yang berlainan mazhab, di mana perbezaan mazhab tersebut melibatkan hal-hal yang berkaitan sah atau tidak solat, dan Kedua - Bagaimanakah seharusnya seseorang itu mengikut imam yang berlainan mazhab, di mana perbezaan mazhab tersebut melibatkan hal-hal yang berkaitan etika dan adab solat ? Kedua-dua persoalan ini akan dihuraikan berikut ini.

Pertama - Apakah hukum solat di belakang imam yang berlainan mazhab, di mana perbezaan mazhab tersebut melibatkan hal-hal yang berkaitan sah atau tidak solat ?

Yang dimaksudkan dengan persoalan ini ialah umpama seorang makmum dari Mazhab Shafie yang bersolat jemaah di belakang seorang imam dari Mazhab Hanafi, di mana imam tersebut sebelum memulakan solat telah menyentuh seorang wanita dan dia (imam) tidak mengulangi wudhu'nya kembali. Dalam hal ini bagi Mazhab Hanafi menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu' manakala bagi Mazhab Shafie, menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu'. Maka bolehkah dan sahkan solat makmum tersebut di belakang imam itu ? Contoh kedua ialah seorang makmum dari Mazhab Hanafi yang bersolat jemaah di belakang seorang imam dari Mazhab Shafie, di mana imam tersebut ketika berwudhu' hanya membasuh sebahagian kecil dari kepalanya. Dalam hal ini kaedah membasuh kepala bagi Mazhab Shafie adalah memadai dengan sebahagian kepala manakala bagi Mazhab Hanafi, syarat sah wudhu' adalah dengan membasuh keseluruhan bahagian kepala. Maka dalam contoh kedua ini, bolehkah dan sahkan solat makmum tersebut di belakang imam itu ?

Dalam kedua-dua contoh di atas atau dalam apa-apa situasi seumpama, para fuqaha berbeza pendapat mengenai status solat makmum tersebut, iaitu:

1. Ada di antara mereka yang berpendapat solat makmum adalah tidak sah kerana solat imam itu sendiri adalah tidak sah, kerana imam telah melakukan sesuatu yang membatalkan solat mengikut syarat-syarat mazhab makmum.

2. Sebahagian pendapat lain pula menyatakan bahawa makmum harus menerima syarat-syarat solat mazhab imam yang dikuti dalam jemaah tersebut dan selagi apa yang dilakukan oleh imam adalah sah berdasarkan mazhabnya maka sahlah juga bagi makmumnya, sekalipun antara imam dan makmum berbeza mazhab.[3]

Ketahuilah sebenarnya bahawa perbezaan-perbezaan yang wujud antara ajaran-ajaran Mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah yang 4 ini hanyalah perbezaan kecil yang melibatkan hal-hal cabang, iaitu furuqiyyah. Ia bukanlah perbezaan yang melibatkan urusan aqidah, tauhid mahupun prinsip-prinsip dasar agama. Perbezaan antara mazhab muncul atas beberapa sebab yang sememangnya sukar untuk dielakkan, seperti beza tafsiran terhadap sesuatu dalil, atau beza anggapan terhadap kekuatan sesuatu hadith dan sebagainya. Ini semua adalah sesuatu yang lumrah lagi terbuka dalam agama dan ia adalah sesuatu yang sudah diterima umat sejak dari hari-hari pertama sejarah agama Islam ini lagi.

Oleh itu jikalau kita menyemak kitab-kitab sejarah para sahabat dan generasi-generasi selepas mereka, kita akan dapati mereka saling bersolat jemaah sesama mereka sekalipun terdapat perbezaan pendapat dalam beberapa hal furu' sesama mereka sendiri. Teladan ini didokongi oleh para Imam Mazhab sendiri. Contohnya Imam Ahmad bin Hanbali, yang dari anak-anak muridnya lahir Mazhab Hanbali, berpendapat bahawa seseorang yang sedang solat lalu berlaku pendarahan pada hidung, maka batallah solatnya itu kerana pendarahan hidung adalah salah satu dari hal yang menyebabkan batalnya wudhu'. Lain pula dengan pendapat Imam Malik bin Anas, yang dari anak-anak muridnya lahir Mazhab Maliki, beliau berpendapat pendarahan hidung itu tidaklah membatalkan wudhu'. Akan tetapi apabila di suatu ketika salah seorang dari anak murid Imam Ahmad bertanya kepadanya - apakah hukum solat di belakang imam yang tidak memperbaharui wudhu' apabila berlaku pendarahan hidung, Imam Ahmad menjawab: Adakah patut aku enggan bersolat di belakang Imam Malik dan Sa'id ibnu Musayyib ? [4] Jawapan Imam Ahmad di atas jelas menunjukkan bahawa perbezaan pendapat antara dirinya dan Imam Malik tidak menjadi penghalang bagi dia untuk tetap bersolat jemaah di belakang Imam Malik atau para pengikut mazhab Maliki.

Demikianlah sepatutnya teladan yang kita contohi, iaitu tetap berjemaah sekalipun timbul perbezaan mazhab antara makmum dengan imam ikutan solat jemaah. Perbezaan yang timbul antara ajaran mazhab tidak sepatutnya menjadi batu penghalang bagi kita umat Islam dari bersatu berjemaah mendirikan solat menghadap Allah Subhanahu waTa'ala. Lebih dari itu solat berjemaah antara sesama mazhab yang berbeza dapat menjauhkan sikap taasub dan fanatik mazhab yang hanya akan memecah-belahkan umat kepada kumpulan-kumpulan mazhab masing-masing. Bukankah solat berjemaah itu sendiri merupakan salah satu dari lambang kesatuan umat Islam, dan mengasingkan diri kepada jemaah mazhab tersendiri sahaja merupakan satu lambang perpecahan umat ?

Hujah penerangan di atas adalah berasaskan kepada kesimpulan yang dibuat oleh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, seorang tokoh fiqh Islam mutakhir, di mana setelah beliau mengupas dan menghurai pendapat setiap mazhab dalam persoalan ini, beliau menulis: Dengan itu bersembahyang di belakang orang yang berlainan dalam persoalan furu' atau cabang mazhab adalah sah dan tidak makruh. Ini kerana pengambilan kiraan dilihat kepada mazhab imam, kerana para sahabat dan tabi'in serta angkatan selepas mereka sering berjemaah sesama mereka sedangkan terdapat perselisihan sesama mereka dalam perkara-perkara furu'. Perbuatan mereka ini dikira sebagai ijma'. Dengan memegang pendapat ini juga akan luputlah kesan-kesan kefanatikan mazhab.[5]

Oleh itu dibolehkan seseorang makmum itu bersolat di belakang seorang imam yang berbeza mazhab dengannya, sekalipun imam tersebut telah melakukan sesuatu perkara yang menyalahi syarat mazhab ikutan si-makmum. Asal sahaja imam ikutan itu melakukan sesuatu yang sah dalam lingkungan mazhab pegangannya, maka sahlah solatnya dan sahlah juga solat para makmum yang mengikutinya.

Kedua - Bagaimanakah seharusnya seseorang itu mengikut imam yang berlainan mazhab, di mana perbezaan mazhab tersebut melibatkan hal-hal yang berkaitan etika dan adab solat ?

Antara perbezaan yang dimaksudkan dalam persoalan kedua ini ialah solat di belakang imam yang menyebut Basmalah secara perlahan ketika membaca surah al-Fatiha dalam solat fardhu Subuh, Maghrib, Isyak, dan solat di belakang imam yang tidak membaca doa qunut ketika solat fardhu Subuh. Maka dalam persoalan ini adakah seorang makmum itu mengikut sahaja perbuatan imam atau adakah dia melakukan apa yang dituntut mengikut mazhabnya sendiri ?

Penjelasan bagi soalan ini mirip kepada penjelasan bagi persoalan pertama di atas, iaitu seseorang makmum itu harus sahaja mengikut perbuatan-perbuatan solat imam ikutannya itu sekalipun terdapat perbezaan mazhab antara imam tersebut dan diri makmum. Sekali lagi dinyatakan, perbezaan ajaran mazhab tidak boleh dijadikan faktor penghalang bagi umat Islam solat berjemaah bersama-sama. Oleh itu jikalau seseorang itu solat di belakang imam yang tidak membaca doa qunut, maka dia juga tidak membaca doa qunut, dan jikalau seseorang itu solat di belakang imam yang membca doa qunut, maka dia juga perlu ikut membaca doa qunut. Walauapapun perbezaan ajaran mazhab antara makmum dan imam, imam tetap berfungsi sebagai pemimpin solat yang diikuti. Mengikut dengan tepat pimpinan imam solat jemaah dan bertoleransi dalam perbezaan hal-hal furuqiyyah adalah suatu kesepakatan kesemua mazhab Ahli Sunnah yang empat.

Hal ini dibuktikan oleh sejarah, apabila Imam Shafie, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah serta anak-anak murid mereka generasi ke generasi, semuanya turun ke Kota Mekah dan Madinah bagi melaksanakan ibadah haji mereka, padahal imam-imam di kedua-dua masjid kota suci tersebut, Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi adalah terdiri dari anak-anak murid Imam Malik binAnas, iaitu bermazhab Maliki. Akan tetapi perbezaan mazhab sebegini tidak menghalang mereka dari bersolat jemaah bersama-sama, sekalipun terdapat perbezaan dalam etika solat seperti bacaan Basmalah dan bacaan doa qunut Subuh antara keempat-empat mazhab tersebut.[6]

Dilarang serta ditegah dari melakukan sesuatu pergerakkan solat yang berbeza dengan imam semata-mata kerana perbezaan mazhab antara imam dan jemaah. Antara perbezaan yang dimaksudkan ialah pembacaan doa qunut ketika menunaikan solat fardhu Subuh. Apabila kita berjemaah di belakang imam yang membaca doa qunut maka hendaklah juga kita ikut membacanya dan apabila kita berjemaah di belakang Imam yang tidak membaca doa qunut, seperti Imam dari Mazhab Hanafi atau Hanbali, maka hendaklah kita turut tidak membacanya.

Ini adalah berdasarkan perintah yang jelas dari baginda Nabi sallallahu-alaihi-wasallam yang melarang para jemaah melakukan sesuatu pergerakkan solat yang berbeza dengan imam yang mereka ikuti. Perintah beliau: Seseorang imam itu dijadikan supaya diikuti. Oleh itu janganlah kamu melakukan perkara-perkara yang berbeza dengannya. Apabila dia rukuk, maka rukuklah. Apabila dia membaca 'SamiAllahuliman Hamidah' maka katalah 'Rabbana lakal Hamduh' . Apabila dia sujud, maka sujudlah. Dan apabila dia solat duduk maka bersolat duduklah kamu semua (dalam jemaah). Dan luruskanlah barisan saf dalam solat (jemaah) kerana sesungguhnya saf yang lurus adalah tanda kesempurnaan solat (jemaah).[7]

Nabi sallallahu-alaihi-wasallam bukan sahaja melarang perbuatan solat yang berbeza dengan imam, tetapi juga melarang seseorang itu daripada melakukan sesuatu perbuatan solat yang tidak seragam dan semasa dengan imam yang sedang diikuti. Dua hadith berikut memberikan amaran serta ancaman berat kepada seseorang makmum yang tidak mengikut dengan tepat dan seragam akan imam solatnya:

[01] Abu Hurairah radiallahu-anhu berkata bahawa Nabi sallallahu-alaihi-wasallam telah bersabda: Tidak takutkah salah seorang dari kalian apabila dia mengangkat kepalanya dari rukuk dan sujud sebelum imam, (lalu) Allah akan menjadikan kepalanya (seperti) kepala keldai atau Allah akan menjadikan bentuknya (seperti) bentuk keldai ? [8]

[02] Abu Hurairah radiallahu-anhu berkata bahawa Nabi sallallahu-alaihi-wasallam telah bersabda: Orang yang menurun dan mengangkat sebelum Imam, sesungguhnya ubun-ubun kepalanya berada di tangan syaitan (dipimpin oleh syaitan).[9]

Nah ! Perhatikanlah kedua amaran di atas. Jikalau pergerakkan solat yang tidak seragam dengan imam sudah diancam dengan sebegitu berat, maka bagaimana pulakah dengan sesuatu pergerakkan solat yang sengaja dilakukan bertentangan dengan imam ? Sudah tentu juga tidak boleh. Oleh itu janganlah seseorang makmum itu melakukan apa-apa perbuatan solat yang berbeza dengan imam ikutannya. Ini termasuklah etika pembacaan doa qunut dalam solat fardhu Subuh, di mana telahpun diterangkan sebelum ini bahawa terdapat perbezaan pendapat sesama mazhab akan hukum pembacaannya. Akan tetapi perbezaan ini tidaklah seharusnya mendorong seseorang jemaah itu daripada berlaku beza dengan imam ikutannya dalam solat berjemaah. Tiga hadith terakhir di atas jelas lagi nyata bagi menerangkan adab-adab solat berjemaah - iaitu tetap selari dan seragam dengan imam ikutan.

Diketahui penulis bahawa ada segelintir pendapat yang menyuruh seseorang itu untuk tetap membaca doa qunut Subuh apabila bersolat jemaah di belakang imam yang tidak membacanya. Pendapat ini juga sering diajar kepada para jemaah kita yang akan berangkat ke Tanah Suci bagi melaksanakan ibadah Haji dan Umrah, di mana mereka disuruh untuk tetap 'menyelitkan’ bacaan doa qunut apabila imam sedang iktidal, sebelum turun ke posisi rukuk (Para imam di Arab Saudi tidak membaca doa qunut Subuh). Pendapat ini mengikut analisa penulis adalah sangat tidak tepat lagi menyalahi sunnah-sunnah Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dalam etika dan adab solat berjemaah.

Justeru apabila seorang makmum mengikut imam yang berlainan mazhab dalam solat jemaah, hendaklah dia mengikut setiap tatacara dan etika solat imam tersebut, sekalipun perbuatan imam itu tidak menepati ajaran mazhab makmum. Sikap sebegini adalah merupakan dasar manhaj para imam mazhab yang empat dan ia paling menepati tujuan serta objektif pensyari'atan solat berjemaah itu sendiri.

Kesimpulan

1. Dibolehkan solat di belakang imam yang berlainan mazhab sekalipun imam tersebut telah melakukan sesuatu perkara yang menyalahi syarat mazhab ikutan si-makmum.

2. Hendaklah tetap mengikuti tatacara solat imam ikutan sekalipun ia tidak menepati tuntutan mazhab pegangan makmum.



[1] Maksud hadith dari Abdullah ibnu Umar radiallahu-anhuma, riwayat Imam Bukhari dan Muslim, al Lu' Lu' wal Marjan - no: 0381.

[2] Maksud hadith dari Abu Darda radiallahu-anhu, riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain, dengan tambahan baris terakhir oleh Imam ar-Ruzain; hadith dinilai hasan oleh Shaikh Nasiiruddin Albani dalam as-Sahih at-Targhib wat Tarhib lil Mundziri, 1/244.

[3] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili - Fiqh dan Perundangan Islam, 2/201 , Shaikh AbdulRahman al-Jaziri - al-Fiqh 'alal Madzahibil Arba'ah, 2/110.

[4] Kisah dikemukakan oleh Prof. Taha Jabir al-'Alwani dalam The Ethics of Disagreement in Islam, pg 92. Imam Sa'id ibnu Musayyib adalah juga salah seorang tokoh ilmuan di zaman awal Islam, meninggal dunia pada tahun 94H.

[5] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili - Fiqh dan Perundangan Islam, 2/201.

[6] Prof. Taha Jabir al-'Alwani - The Ethics of Disagreement in Islam, pg 92-93.

[7] Maksud hadith daripada Abu Hurairah radiallahu-anhu, Sahih Bukhari - no: 0722.

[8] Maksud hadith riwayat Imam Bukhari dan Muslim, al Lu' Lu' wal Marjan - no: 0247.

[9] Maksud hadith riwayat Imam al-Bazzar dan ath-Thabrani, dinilai sebagai hadith hasan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haithami dalam Majma az-Zawaaid, 2/78.


http://hafizfirdaus.com/ebook/musafir/bhg46.htm

Kriteria seorang imam

Assalamu'alaikum

Diharap ada daripada saudara2 yang mengetahui untuk membantu saya (dan lain2
yang berminat).

a. Dari segi syariat, bagaimanakah kriteria seorang imam di dalam solat
dipilih?
b. Bagaimanakah kelayakan atau syarat2 untuk menjadi imam solat diukur?
c. Asas, apakah dia syarat2 imam dan makmum di dalam solat?

--------------------------------------------------------------------------

Jawab:

a) syarat-syarat (kriteria) Imam menurut syara':
1. dari Imam Muslim dari Abu Mas'ud alAnsari RA:
" hendaklah orang yang paling pandai membaca alQur'an; jika kepandaian
mereka sama, hendaklah orang yang paling mengetahui tentang sunnah; kalau
dalam sunnah mereka sama, hendaklah orang yang paling dahulu hijrahnya, jika
sama hijrahnya, hendaklah
orang yang paling dahulu Islamnya.

Dalam riwayat lain," yang paling tua umurnya.
Dalam riwayat lain: yang paling utama ialah penguasa Muslimin.

Kriteria Imam ialah:
1. lebih faqih
2. lebih pandai membaca alQur:an
3. lebih wara'
4. lebih mulia
5. mereka yang menjadi penguasa dalam masyarakat setempat
(Ibn Qudamah, al Mughny, Jld 2, ms 205)

b) syarat sah Imam:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal waras
4. Lelaki
5. Dapat membaca dengan baik (khususnya alFatihah)
6. Sihat dari penyakit yang mengganggu kelancaran solat (sah menurut
Syafi'iy)
7. suci dari hadas dan najis
8. lidah fasih (boleh menyebut huruf Arab dengan tepat) /makhraj
9. Bukan makmum masbuq (sah menurut Syafi'iy)
((Rahbawi, solat ala madzhabil arba'ah)

c) syarat-syarat Imam dalam solat jama'ah:
1. meringankan solat menurut kemampuan ahli jama'ah yang terdiri dari
kanak-kanak dan orang tua
2. memanjangkan raka'at pertama bertujuan menunggu makmum yang lewat
3. memanjangkan ruku' dan tasyahud akhir supaya makmum masbuk masih sempat
bersama

d) syarat-syarat makmum
1. tidak berdiri di hadapan Imam
2. mengetahui pergerakan Imam
3. niat berimam sejak mulai solat
4. tidak boleh mendahului Imam

sekian
thtl

~~~~~~~~~~~~~~~~


Assalamu'alaikum

Di sini ada hadis riwayat Imam Tirmizi yang menceritakan tentang kriteria
Imam didalam sembahyang. Maaf mengenai qualiti terjemahan Hadis ini.

Dari Ibnu Mas'ud Al Ansari berkata , telah bersabda Nabi Muhammad saw "Jadi
Imam akan satu kaum oleh orang yang lebih baik bacaannya dengan kitab Allah,
maka jika ada mereka itu persamaan didalam bacaan, maka yang lebih alim dari
mereka itu dengan sunnah, jika ada persamaan didalam sunnah, maka yang
lebih dahulu hijrah mereka, jika ada persamaan didalam hijrah, maka yang
lebih tua dari umur mereka, dan jangan menjadi Imam didalam pemerintahannya
[di rumah orang], dan jangan duduk ditempat duduknya didalam rumahnya
melainkan dengan izinnya"

Riwayat Tirmizi - Hadis Hassan Sahih.

WASSALAM

Pengirim : Amin - [EMAIL PROTECTED]

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Assalamualaikum

Makmum yang diri belakang Imam mesti tahu cara-cara mengganti imam sekiranya
imam terbatal. juga tahu cara menegur kesilapan imam juga tahu 'merampas
kuasa' sekiranya imam terbatal tanpa imam itu sedari.

Imam mestilah yang terlebih baik bacaannya dari kalangan jemaah, serta tahu
tata cara dan berpengetahuan untuk menjadi imam.

Imam sewajarnya dipilih dari kalangan masyarakat setempat. Sekiranya 'orang
luar' wajar ia dipilih berdasarkan persetujuan sebahagian makmum/AJK.

wallahuaklam.

Pengirim : Pemuda Cawangan [SMTP:[EMAIL PROTECTED]]

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

--- Neo de Uno <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Assalamualaikum...

nak pilih Imam
1- Berilmu Islam
2- qari iaitu sebutan yang baik
3- berumur lebih dari makmom

ini ringkasan dari hadis rasulullah

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Jawapan dari saudara Pemuda Cawangan telah mencetuskan kemusykilan baru bagi
saya, mungkin ada saudara lain sudi untuk menghuraikannya.

Wallahu a'lam...

Ma'as salamah wa ilal liqa'

- md2a -

http://www.mail-archive.com/hizb@hizbi.net/msg07482.html